Featured Post 3
Selasa, 06 Maret 2012
15 Cara Berlogika Mario Teguh
Sebagai sesama alumni Indiana University at Bloomington, saya dan Mario Teguh bergabung di milis alumni Indiana di Indonesia. Melalui milis itu, saya sering ditawari untuk hadir di seminar-seminar Business Art by Mario Teguh. Dengan alasan kesibukan saya sehari-hari sebagai pengajar dan juga peneliti, saya tidak pernah hadir di seminar yang ditawarkan tersebut, yang biasanya tiket tanda masuknya cukup tinggi untuk ukuran kantong saya (dan cukup rendah guna dan relevansinya dengan kerjaan saya sebagai dosen ilmu komputer).
Pada suatu hari di tengah-tengah acara berbagai stasiun televisi yang hampir semuanya menayangkan sinetron, saya memindahkan channel ke O-Channel, the Jakarta’s own channel (sorry bagi rekan-rekan pembaca yang bukan bertempat tinggal di Jabodetabek – Jakarta Greater Area – mungkin tidak bisa menangkap saluran ini).
Acaranya adalah “Business Art by Mario Teguh”. Pembawa acaranya adalah Shahnaz Haque dan kemudian diganti dengan Hilbram. Pembicara utamanya tentu saja Bung yang satu ini, Mario Teguh. Waktu acara dipandu oleh Shahnaz Haque, entah kenapa saya belum terlalu suka dengan acara yang ditayangkan O Channel setiap hari Kamis jam 20.30 ini (tayangan ulang Minggu jam 11.30). Mungkin Shahnaz kurang bisa memancing pertanyaan kepada Mario Teguh secara bernas dan “chantas” (bhs Jawa). Walau di acara yang lain seperti Digital LG Prima yang dipandu Shahnaz dan Isur, saya sangat menyukainya (antara lain karena anak saya sempat memenangkan Kuis Digital LG Prima babak pertama dan menerima USD 300 prize money dari Indosiar). Tapi Hilbram lain, dia bisa menanyakan kepada Mario Teguh pertanyaan2 yang bisa menggugah minat pemirsa seperti saya, yaitu pertanyaan yang bernas dan “chantas” (my daughter, Dessa, seems doesn’t agree with me in this matter…)..
Kelebihan Mario Teguh mungkin jam terbangnya yang cukup tinggi sehingga pertanyaan apapun dari pemirsa dan hadirin di studio O Channel dapat dijawabnya dengan excellent. Tapi kelebihan yang lain, dia bisa menjawab pertanyaan to the point, dalam waktu yang cepat, dan dengan lugas (apa bisa disebut menjawab dengan “concise”, saya kira kata2 ini kurang tepat). Tapi kekurangan Mario Teguh (apa malah juga kelebihannya ?) adalah dia menjawab dengan “logika Amerika” yang bagi pemirsa kadang tidak langsung dapat mengerti apa yang dia maksud, tapi dia sendiri tersenyum, tanda mengerti. Di jagad Indonesia, “bahasa logika” semacam ini cuman ada dua yang pakai, yang pertama adalah Pak Andi Hakim Nasoetion (alm) kala mengajar matematika dan statistika di IPB, dan yang kedua, ya Mario Teguh ini. Bila anda ngambil kelas Pak Andi, maka setiap 15 menit sekali Pak Andi pasti melucu (Ronald Reaganpun sama !!), biasanya mahasiswa akan ketawa dua kali. Tawa pertama adalah bagi mahasiswa yang langsung mengerti apa lucunya dari joke-joke Pak Andi tersebut (the quick witted) dan tawa kedua bagi mahasiswa yang nanya ke mahasiswa sebelahnya apa sih yang lucu (the slow witted). Mario Teguh sama ! Itu yang membuat saya menyukai acara “The Business Art with Mario Teguh” di O Channel. Belakangan isteri saya yang hobbynya membaca berbagai koran tabloid memberitahu saya bahwa Mario Teguh sejak kecil sekolah di Amerika, makanya bahasanya adalah “bahasa logika” Amerika yang secara intrinsic sudah built-in di bahasa Inggris. Lain dengan bahasa Jawa yang njelimet dan “beating around the bush” (misalnya “besok” di bahasa Jawa bisa berarti besok pagi, tahun depan, atau sepuluh tahun kemudian; “ya” bisa berarti “tidak” dan sebaliknya “tidak” bisa berarti “ya”) atau bahasa Indonesia yang tak berlogika (mungkin awalnya bahasa Indonesia lebih untuk keperluan sastra).
Ini cerita saya di depan mahasiswa Teknik Informatika Binus ketika saya mengajar di depan kelas (sorry Pak Mario Teguh, saya ambil kata-kata anda) : “Sebagai dosen yang telah mengajar 25 tahun di Binus gaji saya per bulan adalah 8 koma sampai 10 koma”. “Wah, banyak ya pak ?”, tanya seorang mahasiswa, beberapa di antaranya bertepuk tangan dan bersuit-suit karena menganggap gaji saya cukup besar.
“Iya, setelah tanggal 10, saya koma. Itu artinya 10 koma”, kata saya.
Dan mahasiswapun tertawa terpingkal-pingkal, dan untuk sementara waktu saya tidak bisa melanjutkan mengajar sambil nunggu ketawa mereka mereda.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar